Teori Kriminologi
A.
TERMINOLOGI DAN DIMENSI TENTANG KRIMINOLOGI
Terminologi atau
istilah kriminologi pertama kali dipergunakan antropolog Prancis, Paul
Topiward dari kata crimen (kejahatan/penjahat) dan logos
(ilmu pengetahuan). Kemudian Edwin H. Sutherland dan Donald R.
Cressey menyebutkan kriminologi sebagai :
“.... the body of knowledge regarding delinquency and
crime as social phenomenon. It includes within its scope the process of making
law, the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws ...”
Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep
kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang dapat
meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap
pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.
Kemudian dalam perkembangannya, guna
membahas dimensi kejahatan/penjahat, dikenal teori-teori kriminologi. Menurut Williams
III dan Marilyn McShane teori itu
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :
Pertama, golongan teori abstrak atau
teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam
klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur
masyarakat. Termasuk ke dalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan
teori Konflik. Kedua, teori-teori mikro (microtheories) yang
bersifat lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang
dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology
criminal). Konkritnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan
psikologis atau biologis. Termasuk dalam teori-teori ini adalah Social
Control Theory dan Social Learning theory. Ketiga, Beidging
Theories yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan
mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat.
Namun kenyataannya, klasifikasi
teori-teori ini kerap membahas epidemiologi yang menjelaskan rates of crime
dan etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah Subculture
Theory dan Differential Opportunity Theory.
Selain klasifikasi di atas, Frank
P. William III dan Marilyn McShane juga
mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian lagi,
yaitu:
1.
Teori Klasik dan Teori Positivis
Asasnya, teori klasik membahas legal statutes,
struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis
terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal
individu.
2.
Teori Struktural dan Teori Proses
Teori struktural terfokus pada cara masyarakat
diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori struktural juga lazim
disebut Strain Theories karena, “Their assumption that a disorganized
society creates strain which leads to deviant behavior”. Tegasnya, asumsi
dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada
tingkah laku menyimpang. Sementara teori Proses, membahas, menjelaskan dan
menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.
3.
Teori Konsensus dan Teori Konflik
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam
masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai
bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik
mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat
sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu,
sebagai perbandingan John Hagan
mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :
§
Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku
jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol
Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar
hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
§
Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori
Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang
menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah
ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.
§
Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori
Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada
masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat
ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain
tidaklah identik/sama. Aspek ini teoritisi utama (dramatis personal)
yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi
adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan
dikotomi dan bersifat artifisial.
B. DIMENSI TEORI-TEORI KRIMINOLOGI
DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA MODERN
1. TEORI DIFFERENTIAL ASSOCIATION/ASOSIASI
DIFERENSIAL
Pada hakikatnya, teori Differential
Association lahir, tumbuh dan berkembang dari kondisi sosial (social
heritage) tahun 1920 dan 1930 dimana FBI (Federal Bureau
Investigation-Amerika Serikat) memulai prosedur pelaporan tahunan kejahatan
kepada polisi. Kemudian, sejak diperhatikannya data ekologi mazhab Chicago (Chicago
School) dan data statistik, dipandang bahwa kejahatan merupakan bagian
bidang sosiologi, selain bidang biologi atau psikologi. Berikutnya, dalam
masyarakat AS terjadi depresi sehingga kejahatan timbul dari “product of
situation, opportunity and of comes values” (produk dari situasi,
kesempatan dan nilai). Untuk pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama
Edwin H. Sutherland, tahun 1934, dalam bukunya Principles of
Criminology mengemukakan teori Differential Association. Bila
dirinci lebih detail, sebenarnya asumsi dasar teori ini banyak dipengaruhi oleh
William I. Thomas, pengaruh aliran Symbolic Interactionism dari George
Mead, Park dan Burgess dan aliran ekologi dari Clifford R. Shaw
dan Henry D. McKay serta Culture Conflict dari Thorsten
Sellin.
Konkritnya, teori Differential
Association berlandaskan kepada : “Ecological and Cultural Transmission
Theory, Symbolic Interactionism dan Culture Conflict Theory” Teori Differential Association terbagi dua versi.
Dimana versi pertama dikemukakan tahun 1939, versi kedua tahun 1947. Versi
pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga
yang menegaskan aspek-aspek berikut :
§
First any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior
which he is able to execute. (Pertama, setiap orang akan menerima dan
mengikuti pola-pola prilaku yang dapat dilaksanakan).
§
Second, failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the
inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the
individual. (Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan
inkonsistensi dan ketidakharmonisan).
§
Third, the conflict of cultures is therefore the fundamental principle in
the explanation of crime. (Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar
dalam menjelaskan kejahatan).
Selanjutnya, Edwin H. Sutherland
mengartikan Differential Association sebagai “the contens of the
patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan
dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang
terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Kemudian, pada
tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential
Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak
ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku
jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.
Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya
kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :
(1) Criminal
behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not
inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara
negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan).
(2) Criminal
behaviour is learned in interaction with other persons in a process of
communication. This communication is verbal in many respects but includes also
“the communication of gesture”. (Perilaku kejahatan dipelajari dalam
interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut
terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh).
(3) The principle
part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal
groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of
communication, such as movies, and newspaper, plays a relatively unimportant
part in the genesis of criminal behaviour. (Bagian terpenting dalam proses
mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim.
Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui
bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam
terjadinya kejahatan).
(4) When criminal
behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime,
which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific
direction of motives, drives, rationalization and attitudes. (Ketika
perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik
melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar
dan sikap-sikap tertentu).
(5) The specific
direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes
as favorable on unfavorable. In some societies and individual is
surrounded by persons who inveriably define the legal codes as rules to
be observed while in other he is surrounded by person whose definitions are
favorable to the violation of legal codes. (Arah dan motif dorongan itu
dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu
masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan
melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu
diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat
aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan).
(6) A person becomes
delinquent because of an excess of definition favorable to violation of law
over definitions unfavorable to violation of law. (Seseorang menjadi
delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai
pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang
harus diperhatikan dan dipatuhi).
(7) Differention
Association may vary in frequency, duration, priority and intensity.
(Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta
intensitasnya).
(8) The process of
learning criminal behaviour by association with criminal and anticriminal
patterns incloves all of the mechanism that are involved in any other learning.
(Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola
kejahatan dan mekanisme yang lazimterjadi dalam setiap proses belajar secara
umum).
(9) While criminal is
an expressions of general need and values, it is not explained by those general
needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same
needs and values. (Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari
kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat
pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama).
Dengan diajukannya teori ini,
Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan
sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Edwin H.
Sutherland kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar
agar teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan, baik kejahatan
konvensial maupun kejahatan White-Collar.
Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, temyata
teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan
tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential Association
bertumpu pada aspek-aspek :
(a) Teori ini relatif
mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial
;
(b) Teori ini mampu
menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/melalui proses belajar menjadi
jahat ; dan
(c) Ternyata teori
ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
Sedangkan kelemahan
mendasar teori ini terletak pada aspek :
(a) Bahwa tidak
semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan
meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang,
seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah
berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak
menjadi penjahat.
(b) Bahwa teori ini
belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang
terlibat dalam proses belajar tersebut.
(c) Bahwa teori
ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati
undang-undang dan belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena
spontanitas.
(d) Bahwa apabila
ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori ini agak sulit untuk
diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas,
durasi, frekuensi dan prioritasnya.
2.
TEORI ANOMIE
Secara global, aktual dan representatif
teori anomie lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social
heritage) munculnya revolusi industri hingga great depression di
Prancis dan Eropa tahun 1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek
bagi individu dan lembaga sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu
pentingnya teori analisis struktur sosial sangat dilatarbelakangi usaha New
Deal Reform pemerintah dengan fokus penyusunan kembali masyarakat. Untuk
pertama kalinya, istilah Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang
diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred
to on absence of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku The
Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim mempergunakan
istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di
dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang
terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari
orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.
Menurut Emile Durkheim, teori
anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu :
§
Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).
§
Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal).
§
Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung
pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in colonies, and
his/her survival dependent upon moral conextions).
Kemudian, istilah anomie
dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897) yang
mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie
karena dua keadaan sosial berupa social integration dan social
regulation.
Lebih lanjut, skema hipotesis
Durkheim terlihat sebagai berikut :
Social Conditions
|
High
|
Low
|
Social integration
|
Altruism
|
Egoism
|
Social regulation
|
Fatalism
|
Anomie
|
Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide
berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :
(1) deregulasi kebutuhan
atau anomi ;
(2) regulasi yang
keterlaluan atau fatalism ;
(3) kurangnya integrasi
struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari suicide
menunjuk kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai
budaya altruistic mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh
diri. Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress. Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi
konsep anomie Emile Durkheim untuk menjelaskan deviasi di
Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi intelectual
heritage Pitirin A. Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary
Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The
Structure of Social Action. Menurut Robert K. Merton, konsep anomie
diredefinisi sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan
antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat cara
masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Karena
itu, menurut John Hagan, teori anomie Robert K. Merton
berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and
deviance by social class”).
Teori anomie Robert K.
Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen
dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan
menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan
reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur
dari struktur sosial dan kultural.
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals
dan unsur struktural melahirkan means. Secara sederhana, goals
diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka
aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara
kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu,
Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae
goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk
mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan
berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan adanya
pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur.
Dalam pencapaian tujuan tersebut, ternyata tidak setiap orang menggunakan
sarana-sarana yang tersedia, akan tetapi ada yang melakukan cara tidak sesuai
dengan cara-cara yang telah ditetapkan (illegitime means). Aspek
ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk
kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam
mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari
kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam
mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi
(uper class). Robert K. Merton
mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam setiap anggota kelompok
masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan cara yang melembaga
(means), seperti tampak pada tabel Model of Adaptation.
Tabel Model of Adaptation
Adjustment/adaptation
forms
|
Cultural goals
|
Institutionalized
Means
|
|
1.
|
Conformity
|
+
|
+
|
2.
|
Innovation
|
+
|
-
|
3.
|
Ritualism
|
-
|
+
|
4.
|
Retreatism
|
-
|
-
|
5.
|
Rebelion
|
+/-
|
+/-
|
Keterangan :
+ acceptances (penerimaan)
- elliminaation
(penolakan)
+/- rejection and
subtitution of new goals and means
(penolakan dan penggantian tujuan dan cara baru)
Kelima bentuk penyesuaian tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Conformity (konformitas)
adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan
sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya tekanan moral.
(2) Innovation
(inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi
mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
(3) Ritualism
(ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan yang telah
ditetapkan namun sarana-sarana yang telah ditentukan tetap dipilih.
(4) Retreatism
(penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga masyarakat menolak tujuan
dan sarana yang telah disediakan.
(5) Rebellion
(pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana yang terdapat
dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya.
Dari skema penyesuaian diri Robert
K. Merton di atas maka inovasi, ritualisme, penarikan diri
dan pemberontakan merupakan bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari
norma-norma yang berlaku. Karena itu, pengadaptasian yang gagal pada struktur
sosial merupakan fokus dari teori Robert K. Merton (Problems of acces
to legitimate means of achieving the goals are the focus of Anomie Theory).
Sebagai sebuah teori, maka Anomie merupakan golongan teori abstrak/macrotheoriess
dalam klasifikasi teori positif Frank P. William dan Marilyn McShane,
atau dengan melalui pendekatan teorinya secara sociological (Frank Hagan).
Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward & Ohlin
(1959) dengan mengetengahkan teori differential opportunity. Cloward
& Ohlin mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat cara-cara untuk
mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya “legitimate dan illegitimate”.
Sedangkan Robert K. Merton hanya mengakui cara yang pertama.
3.
TEORI SUB-CULTURE
Pada dasarnya, teori sub-culture
membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai
tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun
1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika. Di bidang
pendidikan, para kelas menengah mengharapkan pendidikan universitas bagi
anak-anak mereka. Kemudian dalam bidang iptek, keberhasilan Uni Soviet
mengorbitkan satelit pertamanya akhirnya berpengaruh besar dalam sistem
pendidikan di AS. Di sisi lain, memunculkan urbanisasi yang membuat daerah
pusat kota menjadi kacau balau dan hal ini merupakan problem perkotaan.
Sehingga, kenakalan adalah problem kelas bawah serta gang adalah bentuk
paling nyata dari pelanggaran tersebut. Teori sub-culture sebenarnya
dipengaruhi kondisi intelektual (intelectual heritage) aliran Chicago,
konsep anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang
melakukan pengujian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan
laki-laki yang berasal dari komunitas kelas bawah (lower class).
Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa
ada ikatan antara hierarki politis dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan
tersebut begitu kuat sehingga Kobrin mengacu kepada “Kelompok Pengontrol
Tunggal” (single controlling group) yang melahirkan konsep komunitas
integrasi.
Dalam kepustakaan kriminologi
dikenal dua teori sub-culture, yaitu:
§
TEORI DELINQUENT SUB-CULTURE
Teori ini dikemukakan Albert K.
Cohen dalam bukunya delinquent boys (1955) yang berusaha memecahkan
masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimuali dengan menggabungkan
perspektif teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay,
teori Differential Association dari Edwin H. Sutherland dan teori
Anomie Albert K. Cohen berusaha menjelaskan terjadinya
peningkatan perilaku delinkuen di daerah kumuh (slum). Karena itu,
konklusi dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja, usia
muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan
nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
Kondisi demikian mendorong adanya
konflik budaya yang oleh Albert K. Cohen disebut sebagai “Status
Frustration”. Akibatnya, timbul keterlibatan lebih lanjut anak-anak kelas
bawah dan gang-gang dan berperilaku menyimpang yang bersifat “nonutilitarian,
malicious and negativistic (tidak berfaedah, dengki dan jahat)”. Konsekuensi logis dari konteks diatas, karena tidak
adanya kesempatan yang sama dalam mencari status sosial pada struktur sosial
maka para remaja kelas bawah akan mengalami problem status di kalangan remaja. Akhirnya, Albert K. Cohen bersama James Short
melakukan klasifikasi sub-sub budaya delinkuen, menjadi :
(a) A parent male
sub-culture the negativistic sub culture originally identified to delinquent
boys ;
(b) The
conflict-oriented sub-culture the culture of a large gang that engages in
collective violence ;
(c) The drug
addict sub-culture groups of youth whose lives revolve around the purchase
sale, use of narcotics ;
(d) Semi profesional
theft-youths who engage in the theft or robbery of merchandise for the purpose
of later sale and monetary gain ; and
(e) Middle-class
sub-culture-delinquent group that rise, because of the pressures of living in
middle-class environments.
§
TEORI DIFFERENTIAL OPPORTUNITY
Teori perbedaan kesempatan (differential
opportunity) dikemukakan Richard A. Cloward dan Leyod E. Ohlin
dalam bukunya Delinquency and Opportunity: a Theory of Delinquent Gang
(1960) yang membahas perilaku delinkuen kalangan remaja (gang) di
Amerika dengan perspektif Shaw dan McKay serta Sutherland.
Menurut Cloward, terdapat struktur kesempatan kedua yang tidak dibahas
teori anomie Robert K. Merton yaitu adanya kesempatan tidak sah (the
illegitimate opportunity structure). Pada dasarnya,
teori Differential Opportunity berorientasi dan membahas penyimpangan di
wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi perbedaan kesempatan
yang dimiliki anak-anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal. Untuk itu, Cloward
dan Ohlin mengemukakan 3 (tiga) tipe gang kenakalan Sub-culture,
yaitu :
(a) Criminal
Sub-culture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang
akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Aspek
itu berkorelasi dengan organisasi kriminal. Kriminal sub-culture
menekankan aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi, uang atau harta benda
dan berusaha menghindari penggunaan kekerasan.
(b) Retreatist
Sub-culture, dimana remaja tidak memiliki struktur kesempatan dan lebih
banyak melakukan perilaku menyimpang (mabuk-mabukan, penyalah gunaan narkoba
dan lain sebagainya).
(c) Conflict
Sub-culture, terdapat dalam suatu masyarakat yang tidak terintegrasi,
sehingga suatu organisasi menjadi lemah. Gang sub-culture demikian ini
cenderung memperlihatkan perilaku yang bebas. Ciri khas gang ini seperti
adanya kekerasan, perampasan harta benda dan perlikau menyimpang lainnya.
4.
TEORI CULTURE CONFLICT
Teori Culture Conflict atau
konflik kebudayaan akan dikaji dari perspektif social heritage, intellectual
heritage, teori serta asumsi dasarnya sehingga diharapkan relatif memadai
untuk memahami teori culture conflict.
Berangkat dari polarisasi pemikiran
di atas lebih lanjut dikaji mengenai :
Ø Social
Heritage/kondisi sosial
Sejak beberapa tahun terakhir,
banyak kajian dilakukan tentang konflik budaya dan kenakalan. Asumsinya bahwa
keberadaan conduct norm yang legal maupun tidak, berada dalam konflik
satu sama lainnya. Konflik budaya yang menyertai conduct norm merupakan
akibat migrasi (perpindahan conduct norm dari satu budaya atau wilayah yang
kompleks ke budaya lainnya). Menurut aliran Chicago, urbanisasi dan
industrialisasi telah menciptakan masyarakat yang memiliki variasi budaya
bersaing dan berpeluang terpecah belah sebagai ulah masing-masing keluarga,
kelompok persahabatan dan kelompok sosial yang menjadi lebih individual,
sehingga timbul konflik. Perilaku menyimpang umumnya terjadi tatkala seseorang
berperilaku menurut tindakannya yang berkonflik dengan tatanan budaya yang
dominan.
Ø Intellectual
Heritage
Teori konflik budaya dipengaruhi
kondisi intelektual (Intellectual Heritage) dari beberapa kaum
intelektual, yaitu :
a.
Frank Speek menyatakan bahwa konflik budaya dapat terjadi akibat dari
pertumbuhan peradaban.
b. Edwin
H. Sutherland menyatakan bahwa culture conflict merupakan dasar
terjadinya kejahatan.
c.
Taft menyatakan, “crime is product of culture”.
d. Louis
With menyatakan bahwa culture conflict merupakan faktor penting
dalam timbulnya kejahatan.
e.
Clifford Shaw menunjukkan bahwa daerah perkotaan ditandai adanya
kemiskinan yang amat sangat, perumahan kumuh yang tidak layak huni, pengaruh
tetangga yang kurang menguntungkan, adanya kelompok gang anak-anak
nakal, menjadi pemicu terjadinya konflik perilaku.
Ø Teori
Culture Conflict
Teori ini dikemukakan Thorsten
Sellin dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Fokus utama
teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak pikiran/sikap. Thorsten
Sellin menyetujui bahwa maksud norma-norma mengatur kehidupan manusia setiap
hari, norma adalah aturan-aturan yang merefleksikan sikap dari kelompok satu
dengan lainnya. Konsekuensinya, setiap kelompok mempunyai norma dan setiap
norma dalam setiap kelompok lain memungkinkan untuk konflik. Setiap individu
boleh setuju dirinya berperan sebagai penjahat melalui norma yang disetujui
kelompoknya, jika norma kelompoknya bertentangan dengan norma yang dominan
dalam masyarakat. Persetujuan pada rasionalisasi ini, merupakan bagian
terpenting untuk membedakan antara yang kriminal dan nonkriminal dimana yang
satu menghormati pada perbedaan kehendak/tabiat norma.
Ø Asumsi
Dasar Teori Culture Conflict
Secara gradual dan substansial,
menurut Thorsten Sellin, semua culture conflict merupakan konflik
dalam nilai sosial, kepentingan dan norma. Karena itu, konflik kadang-kadang
merupakan hasil sampingan dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban
atau acapkali sebagai hasil berpindahnya norma-norma perilaku daerah/budaya
satu ke budaya lain dan dipelajari sebagai konflik mental.
Konflik norma tingkah laku dapat
timbul karena adanya perbedaan cara dan nilai sosial yang berlaku di antara
kelompok-kelompok. Begitu pula, konflik norma terjadi karena berpindahnya orang
desa ke kota. Konflik norma dalam aturan-aturan kultural yang berbeda dapat
terjadi antara lain disebabkan tiga aspek, yaitu :
v Bertemunya
dua budaya besar.
Konflik budaya dapat terjadi apabila adanya benturan
aturan pada batas daerah kultur yang berdampingan. Contohnya, bertemunya
orang-orang Indian dengan orang-orang kulit putih di AS. Pertemuan tersebut
mengakibatkan terjadinya kontak budaya di antara mereka, baik terhadap agama,
cara bisnis dan budaya minum minuman kerasnya yang dapat memperlemah budaya
suku Indian tersebut.
v Budaya
besar menguasai budaya kecil.
Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya
memperluas daerah berlakunya budaya tersebut terhadap budaya lain. Aspek ini
terjadi dengan norma hukum dimana undang-undang suatu kelompok kultural
diperlakukan untuk daerah lain. Misalnya, diberlakukannya hukum Perancis
terhadap suku Khabile di Aljazair, atau bergolaknya daerah Siberia ketika
diterapkannya hukum Uni Soviet.
v Apabila
anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.
Konflik budaya timbul karena
orang-orang yang hidup dengan budaya tertentu kemudian pindah ke lain budaya
yang berbeda. Misalnya, walaupun mempunyai budaya vendetta, karena
pindah ke AS maka orang-orang Sicilia tunduk pada hukum AS.
Berdasar asumsi di atas ternyata Thorsten
Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik
primer dapat terjadi ketika norma dari dua kultur, bertentangan.
Pertentangan ini dapat terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki
masing-masing ketika hukum dari kelompok lain muncul ke permukaan
daerah/teritorial lain atau ketika orang-orang satu kelompok pindah pada kultur
yang lain. Konflik sekunder timbul ketika dari sebuah kultur
kemudian terjadi varietas kultur, salah satunya dibentuk dari penormaan
sikap/tabiat. Tipe konflik ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada
masyarakat yang homogen berubah menjadi masyarakat yang kompleks.
5.
TEORI LABELING
Teori Labeling timbul pada awal
tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori
lainnya, teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu :
§
Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori
menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
§
Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya
kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap
pelaku kejahatan yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling
dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari Frank
Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The
Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of
Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and
Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer,
1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label
menekankan kepada dua aspek, yaitu :
Menjelaskan tentang
mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
Pengaruh/efek dari
label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.
Dengan demikian, reaksi masyarakat
terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian F.M.
Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga
bentuk penyimpangan, yaitu :
(a) Individual deviation,
dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis dari dalam ;
(b) Situational
deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
(c) Systematic
deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub
kultur atau sistem tingkah laku.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan
primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary
deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang
sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik
individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi
simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah
perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer.
Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang
paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel
dengan pelabel dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi. Menurut Howard
S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan.
Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada
orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada
saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya
serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.
Apabila dijabarkan, secara gradual
asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :
v Tidak ada
satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
v Perumusan
kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
v Penerapan
aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
v Orang tidak
menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh
penguasa.
v Pada
dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika
dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
6.
TEORI KONFLIK
Ø Social
Heritage
Pada dasarnya dekade tahun 1965-1975
merupakan masa kekacauan yang melanda masyarakat Amerika. Setelah berakhirnya
periode optimisme (akhir 1950 sampai awal 1960-an), banyak orang di AS kecewa
pada masyarakat mereka. Adanya kesuksesan gerakan hak-hak sipil berhasil
memberi inspirasi, seperti kelompok wanita dan homoseksual yang mencari
ciri-ciri mereka sendiri dan persamaan dalam kesempatan-kesempatan sosial.
Kemudian, sejumlah demonstrasi muncul dalam rangka menentang perang Vietnam
pada tahun 1965-1968.
Semua peristiwa ini merupakan bagian
suasana dari kalangan orang muda yang menanyakan nilai-nilai kelas menengah
Amerika, model kehidupan orang tua mereka yang konvensional. Akhirnya, skandal
politik watergate memecahkan bayangan keraguan sinisme mengenai
moralitas dan integritas semua aspek dari pemerintah Amerika.
Ø Intelectual
Heritage
Pada hakikatnya, teori konflik merupakan cabang dari teori label. Pemikiran
teori konflik berakar dari teori-teori sosial Jerman seperti Hegel, Karl
Marx, Simmel dan Weber untuk memperoleh arah. Ilmuan sosial bereaksi
terhadap peristiwa-peristiwa waktu itu mulai menanyakan tentang sosial dan
struktur hukum mengenai label yang sudah ditolak pernyataan Richard Quinney
(1965) dan Austin T. Turk (1964) diarahkan pada reaksi masyarakat (societal
reaction). Menurut Bonger, pada awal abad ke-20 terjadi penciptaan
teori kriminologi yang menggabungkan Marxis dan pendekatan psychoanalytic.
Selanjutnya, pendorong penting terhadap bentuk konservatif teori konflik adalah
Lewis Coser (1956) dan Ralf Dahrendorf (1958, 1959).
Gagasan-gagasan mereka inilah yang memperluas sudut pandang di tahun 60-an.
Sementara itu, meningkatnya radikalisme kaum akademis, secara umum menghidupkan
lagi kepentingan teori Marx dan beberapa teoritisi mulai memakai teori Marxist
terhadap kejahatan dan struktur legal. Dalam teori konflik, perilaku menyimpang
didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka
sendiri.
Ø Asumsi
Dasar
Hakikatnya, asumsi
dasar teori konflik berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut :
§
konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat ;
§
pada tiap tingkat, masyarakat cenderung mengalami perubahan. Sehingga disetiap
perubahan, peranan kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain terus terjadi ;
§
kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis ;
§
dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum dan penegakan hukum selalu menjadi
alat dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
Berangkat dari asumsi dasar di atas,
perspektif konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
§
masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda ;
§
terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok tersebut tentang baik dan
buruk ;
§
konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan kekuasaan politik ;
§
hukum dibuat untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik ;
§
kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan hukum adalah
menjaga dan memelihara kekuasaannya.
Berangkat dari asumsi dasar dan
prinsip-prinsip tersebut di maka bentuk teori konflik dapat dibagi menjadi dua
bagian, konflik konservatif dan konflik radikal.
1.
Perspektif Konflik Konservatif
Konsep dasar dari teori konflik
adalah kekuasaan dan penggunannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi
di antara kelompok-kelompok yang mencoba menggunakan kontrol atas suatu
situasi. Teori konflik mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan
lebih tinggi dalam kelas sosial akan memiliki powerful members pada
masyarakat. Dengan kekuasaannya tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan
keputusan, juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih
rendah.
Pada proses pembentukan hukum, kelas
sosial yang lebih dominan dalam masyarakat akan menggunakan kekuasaan untuk
mempengaruhi hukum tersebut dengan nilai-nilai mereka. Kelas sosial tersebut
akan menjadi pemegang dan siapa yang menentang mereka akan menjadi target dari
penegak hukum. Pada aspek ini, teori labeling cocok dengan teori konflik
untuk menjelaskan proses reaksi dimana kelas yang sedikit memiliki kekuasaan
akan menjadi perhatian dari para penegak hukum. Teori konflik konservatif
juga mengemukakan hubungan antara penggunaan kekuasaan dan pembentukan hukum.
Pembentukan hukum merupakan perwujudan nilai-nilai para pembuatnya, hukum dalam
menentukan perbuatan kriminalisasi lebih diarahkan kepada mereka yang berada di
luar kelompok pemegang kekuasaan.
Dua tokoh teori konflik yang
mengilustrasikan karakteristik bentuk konflik adalah George B. Vold dan Austin
T. Vold. Keduanya melahirkan suatu teori dengan menekankan bahwa dalam
suatu masyarakat terdapat kelompok alamiah dan berbagai kelompok kepentingan
yang berlomba terhadap kelompok alamiah lain. Austin T. Vold menilai, di
antara kelompok tersebut akan terjadi konflik kepentingan dan berkompetisi. Austin
T. Vold berbicara mengenai adanya konflik dalam hukum pidana, sebagai
berikut : “...the whole process of law making, law breaking, and law
enforcement directly refleas deep-seated and fundamental conflics between group
interest and the more general struggles among group for control of the police
of the state”. Akhirnya Austin T. Vold berpendapat bahwa sejak
kelompok minoritas tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses
legislatif, tingkah laku mereka akan dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. George
B. George menganalisis mengenai konflik, kekuasaan dan kejahatan. Dalam
analisisnya, ia menyimpulkan dari beberapa premis dasar teori konflik, bahwa
kejahatan merupakan produk kekuasaan politik dalam masyarakat yang heterogen.
Menurut Austin T. Vold, persaingan kelompok-kelompok berkepentingan
mempengaruhi pembuat peraturan untuk kepentingan kelompoknya. Hal ini bisa
disebut sebagai refleksi konflik kelas terhadap proses politik tentang law
making, law breaking and law enforcement. Perilaku
kejahatan menjelaskan dalam hubungan ideologi konflik dimana konflik timbul,
berakibat, sebagai akses dari kelompok minoritas dengan sedikit atau tanpa
kekuasaan yang mempengaruhi perubahan dalam hukum.
Tokoh teori konflik lainnya, Austin
T. Turk mengatakan bahwa ketertiban masyarakat merupakan hasil dari
kekuasaan kelompok tertentu untuk mengontrol masyarakat itu sendiri. Kontrol
ini adalah pemaksaan dari penempatan nilai-nilai ke dalam hukum dan kemudian
adanya kekuasaan untuk menegakkan hukum. Austin T. Turk memulai konflik
dengan artikel yang disebutnya sebagai “the study of criminality as opposed
to criminal behavior” (1964). Austin T. Turk menjelaskan bahwa
kejahatan hanya dapat ditemukan hukum pidana/kriminal. la mencoba untuk mencari
hubungan antara kejahatan dengan hukum pidana. Seseorang dapat dinyatakan
sebagai penjahat dalam hubungan antara penguasa dan subyek. Austin T. Turk
kemudian menyatakan bahwa kejahatan merupakan status yang diperoleh penentang
norma, yang diterima sebagai norma sosial. Konsep hubungan penguasa dengan
subyek merupakan suatu hubungan yang penting. Austin T. Turk melihat
bahwa penguasa harus menghadapi fakta dalam kehidupan, yang biasanya memerlukan
alat untuk menjalankan kekuasaannya.
Lebih lanjut, Austin T. Turk
mengemukakan dua cara yang dipergunakan untuk mengontrol masyarakat. Pertama,
penguasa menggunakan paksaan atau kekuatan fisik. Penguasa lebih banyak
menggunakan paksaan agar hukum ditaati. Hal ini diperlukan karena mereka merasa
kesulitan untuk mengontrol masyarakat. Bentuk kontrol yang kedua, lebih
bersifat halus. Menurut mereka, hukum merupakan sesuatu yang penting. Karena
itu terdapat dua tipe hukum, yaitu :
1)
Aturan dari para petugas tentang bentuk perilaku jahat beserta pidana yang
dikenakan.
2)
Menetapkan aturan-aturan untuk memproses orang-orang melalui penilaian sistem
hukum. Digunakannya proses hukum ini memperlihatkan para penguasa menggunakan
kontrol secant halus.
2.
Perspektif Konflik Radikal
Teori konflik radikal memposisikan
diri dari anarki politik menyambung Marxisme dan materialisme ekonomis menuju
perbedaan nilai. Sangat sulit untuk menentukan pendekatan apa yang digunakan. Para
tokoh teori ini adalah Camblis, Quinney, Gordon Bohm dan K.
Mark. Semua versi dari tokoh-tokoh di atas menyesuaikan uraiannya terhadap
pendapat K. Marx. Ketika K. Marx sangat sedikit menyinggung
masalah kejahatan dan penjahat, beberapa tokoh radikal kriminologi menyesuaikan
contoh-contoh umum masyarakat untuk menjelaskan mengenai kejahatan. K. Marx
melihat konflik dalam masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas
sumber-sumber tersebut, khususnya mengenai kekuasaan. Ketidaksamaan ini
tercipta karena konflik kepentingan antara yang memiliki dan yang tidak
memiliki kekuasaan. Dalam masyarakat industri, konflik akan timbul di antara
para pekerja dan kaum pemilik modal. Para pekerja, yang merupakan kaum buruh,
akan mengembangkan prinsip perebutan (struggle) dan mereka menganggap
kedudukan sebagai pemilik modal dalam masyarakat merupakan hal yang sangat
menarik perhatian. Menurut teori konflik K. Marx, perilaku menyimpang
didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka
sendiri.
Konflik merupakan :
-
fenomena yang alami/wajar ;
-
selalu terdapat dalam masyarakat ;
-
berdasarkan atas persepsi dan makna.
Konflik dalam masyarakat ditentukan
oleh kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan mereka dan persepsi
terhadap konflik dan biasanya konflik kepentingan tercipta dalam proses
pembuatan hukum. Menurut kaum radikal, terdapat dua hal yang menyebabkan
kelompok, yakni perebutan kepentingan dan persepsi terhadap konflik. Biasanya,
konflik kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum. Pertama,
mereka menganggap bahwa kelompoknya merupakan alat dari kaum rulling class.
Pengertian kejahatan dalam hukum merupakan refleksi pada konsep kapitalisme.
Sedangkan prilaku rulling class secara umum tidak ditempatkan di bawah
hukum pidana. Kedua, kaum radikal melihat semua kejahatan sebagai hasil
perebutan kelompok yang merupakan pencerminan dari individualisme dan
kompetisi. Pada akhir pembahasan mengenai konflik radikal, Richard Quinny
(1977) dan Steven Spitze (1975) membahas berlebihnya jumlah buruh
sebagai suatu permasalahan dalam masyarakat kapitalis. Berlebihnya buruh akan
menyebabkan gaji rendah, tetapi berlebihnya jumlah buruh yang sangat besar akan
menimbulkan permasalahan.
Selanjutnya, Steven Spitzer
mengemukakan lima tipe akibat berlebihnya jumlah buruh yang dikatakan sebagai population
problem, yaitu :
(1)
orang miskin akan mencuri dari orang kaya ;
(2)
mereka akan menolak untuk bekerja ;
(3)
mereka tetap menggunakan obat bius ;
(4)
mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya terhadap yang diperoleh dari
kehidupan keluarga ;
Beberapa tokoh juga mengemukakan
pendapat lain tentang teori konflik. Joseph R. Gusfield's menjelaskan
mengenai “Temperance movement.” Menurut Gusfield's produksi, penjualan
dan minuman keras masih didominasi kelompok yang berkepentingan tetapi bukan
masalah moralitas. Joseph R. Gusfield's memperhatikan amandemen ke-18
dimana, “... undang-undang larangan perdagangan minuman keras merupakan simbol
kemenangan dari kelas menengah pedesaan melawan kaum imigran.” Alexander
Liazos menjelaskan mengenai peranan kekuasaan dalam menentukan defmisi
kejahatan.
Teori labeling menfokuskan
diri pada bentuk “dramatic” dari penyimpangan. Simecca dan Lee
mengetengahkan tiga perspektif hubungan antara hukum dan organisasi
kemasyarakatan serta tiga paradigma tentang studi kejahatan. Perspektif
dimaksud adalah consencus, pluralist dan conflict atau dipandang
sebagai suatu keseimbangan yang bergerak dari konservatif, liberal dan terakhir
radikal. Sementara, ketiga paradigma dimaksud adalah positivis,
interaksionis dan sosialis. Ketiga perspektif dan paradigma tadi
berkaitan erat satu sama lain sehingga secara skematis dapat digambarkan
sebagai berikut :
PERSPEKTIF
|
KONSENSUS
|
PLURALIS
|
KONFLIK
|
(Conservative)
|
(Liberal)
|
(Radikal)
|
|
PARADIGMA
|
POSITIVIS
|
INTERAKSIONIS
|
SOSIALIS
|
Perspektif konsensus beranjak dari
nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Amerika Serikat.
Prinsip-prinsip yang dianut oleh perspektif ini adalah :
1.
hukum merupakan pencerminan dari kehendak masyarakat banyak ;
2.
hukum melayani semua orang tanpa kecuali atau secara negatif dapat dikatakan
bahwa hukum tidak membeda-bedakan seseorang atas dasar ras, agama dan suku
bangsa ; dan
3.
mereka yang melanggar hukum mencerminkan keunikan-keunikan atau merupakan
kelompok yang unik.
Prinsip-prinsip yang dianut
perspektif konsensus ini memiliki dampak terhadap paradigma positivis dari
studi kejahatan. Sebagai suatu paradigma studi kejahatan, positivis menekankan
pada determinisme dimana tingkah laku seseorang adalah hasil hubungan
sebab-akibat yang erat individu bersangkutan dengan lingkungannya. Perspektif
pluralis dihasilkan dari suatu keadaan masyarakat majemuk dan kompleks. Jika
model konsensus mengenai adanya kesepakatan-kesepakatan atas nilai-nilai (values)
dan kepentingan-kepentingan (interest), maka perspektif pluralis justru
mengakui adanya pelbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki berbagai ragam
kepentingan dan nilai-nilai.
Hukum, menurut model pluraris,
tumbuh dalam masyarakat bukan karena kesepakatan-kesepakatan melainkan justru
karena tidak adanya kesepakatan di antara anggota dalam masyarakat.
Prinsip yang dianut pluralis adalah
:
1.
masyarakat terdiri dari pelbagai kelompok ;
2.
dalam kelompok-kelompok ini terjadi perbedaan, bahkan pertentangan mengenai apa
yang disebut benar dan salah ;
3.
terdapat kesepakatan tentang mekanisme penyelesaian sengketa ;
4.
sistem hukum memiliki sifat bebas-nilai ; dan
5.
sistem hukum berpihak pada kesejahteraan terbesar masyarakat.
Pengaruh model perspektif pluralis
terhadap paradigma studi kejahatan yang interaksionis terletak pada
pengakuannya atas kemajemukan kondisi yang tumbuh dalam masyarakat. Pengaruh
dimaksud kemudian menumbuhkan pentingnya peran pada penganut paradigma
interaksionis.
7. TEORI KONTROL
Pada dasarnya, teori kontrol
berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan
teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan
kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang
melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya,
pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama,
adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki
tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak)
kucang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak
kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua,
munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu
baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi
pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu
teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport
survey.
Perkembangan berikutnya, selama
tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap
kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan
konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran Chicago
dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen
kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :
1. A
lack of proper internal controls developed during childhood (kurangnya
kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak).
2. A
breakdown of those internal controls (hilangnya kontrol internal).
3. An
absence of or conflict in social rules provided by important social group (the
family, close other, the school) (tidak adanya norma-norma sosial atau
konflik antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).
Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan
dua macam kontrol, yaitu personal control dan sosial control. Personal
control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai
kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau
lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan
menjadi efektif. Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian
“Commitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam
membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine
Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/
penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan
lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon
Dinitz. Walter Walter Reckless menyampaikan Contaiment Theory
yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil (akibat) dari
interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan
eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment
internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan
sosial (social pull) lingkungan dan dorongan dari dalam individu. F.
Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family Relationsip and
Delinquent Behavior (1958), mengemukakan teori
kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan
penjelasan yang bersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak
menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultur dalam proses
terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye
disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak
efektif.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan
oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan
kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga.
“Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan
terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang
terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak
melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat
(memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan
proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan
keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal
kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Asumsi teori kontrol yang
dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari :
a.
harus ada kontrol internal maupun eksternal;
b.
manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran ;
c.
pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang adequat
(memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan
proses pendidikan terhadap seseorang ; dan
d.
diharapkan remaja mentaati hukum (law abiding).
a.
direct control imposed from without by means of restriction and punishment
(kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum) ;
b. internalized
control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi
yang dilakukan dari dalam diri secara sadar) ;
c.
indirect control related to affectional identification with parent and other
non-criminal persons, (kontrol tidak langunsung yang berhubungan dengan
pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang
yang bukan pelaku kriminal lainnya) ; dan
d. availability
of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-nilai
alternatif untuk mencapai tujuan).
Konsep kontrol eksternal menjadi
dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes melakukan kritik
terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan
bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari
strata sosial rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan di dalam
masyarakat. Kemudian, David Matza dan Gresham Sykes mengemukakan
konsep atau teori yang dikenal dengan technique of netralization, yaitu
suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk
melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan sehingga
bebas untuk melakukan kenakalan.
Teknik netralisasi ini dirinci
David Matza dan Gresham Sykes, sebagai berikut :
1.
Teknik yang disebut denial of responsibility, menunjuk pada suatu
anggapan di kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa dirinya merupakan
korban dari orang tua yang tidak kasih, lingkungan pergaulan yang buruk atau
berasal dari tempat tinggal kumuh (slum).
2.
Teknik denial of injury, menunjuk kepada suatu alasan di kalangan remaja
nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu bahaya yang
besar/berarti. Sehingga, mereka beranggapan bahwa vandalisme merupakan
kelalaian semata-mata dan mencuri mobil sesungguhnya meminjam mobil,
perkelahian antara gang merupakan pertengkaran biasa.
3.
Teknik denial of the victim, menunjuk kepada suatu keyakinan diri pada
remaja nakal bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban justru dipandang
sebagai mereka yang melakukan kejahatan.
4.
Teknik yang disebut condemnation of the comdemners, menunjuk kepada
suatu anggapan bahwa polisi sebagai hipokrit, munafik atau pelaku kejahatan
terselubung yang melakukan kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada
mereka. Pengaruh teknik ini adalah mengubah subyek yang menjadi pusat
perhatian, berpaling dari perbuatan-perbuatan kejahatan yang telah
dilakukannya.
5.
Teknik appeal to higher loyalties, menunjuk pada suatu anggapan di
kalangan remaja nakal bahwa mereka tertangkap di antara tuntutan masyarakat,
hukum dan kehendak kelompok mereka.
Kelima teknik netralisasi di atas
menurut David Matza (1964), yang kemudian ditegaskan sebagai
penyimpangan atas apa yang disebut sebagai bond to moral order,
mengakibatkan seseorang terjerumus dalam keadaan dimana kenakalan remaja atau
penyimpangan tingkah laku sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Versi teori
sosial yang paling andal dan sangat populer dikemukakan Travis Hirschi
(1969). Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang
kontrol sosial, telah memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social
bond.
Travis Hirschi sependapat dengan Durkheim
dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam pandangan
tentang kesusilaan/morality. Travis Hirschi berpendapat bahwa
seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah lakunya.
Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud, Travis
Travis Hirschi juga menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh
tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap
masyarakat. Teori kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial
berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat
mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”.
Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi
baik kalau masyarakatnya membuatnya demikian, pun ia menjadi jahat apabila
masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini
berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku
delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja, “mengapa kita
patuh dan taat pada norma-norma masyarakat” atau “mengapa kita tidak melakukan
penyimpangan?” Menurut Travis Hirschi, terdapat
empat elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama,
Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap
orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut
akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Kaitan attachment
dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran,
perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan
penyimpangan. Attachment sering diartikan secara bebas dengan
keterikatan. Ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan
dengan sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya. Kedua, Commitment
adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah,
pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang
ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti
sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi
orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa
depan, dan sebagainya. Ketiga, Involvement merupakan aktivitas
seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka
kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini
adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan
tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan
hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, segala aktivitas yang
dapat memberi manfaat akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum. Keempat, Belief merupakan aspek moral
yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di
atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang
ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan
terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan
mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma
maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran.
Hubungan antara Attachment
dan Commitment seringkali dinyatakan cenderung berubah-ubah secara
terbalik. Menurut riset tentang delinkuen, salah satu “masalah” anak remaja
dari kelas bawah adalah bahwa dia tidak mampu memutuskan keterikatan dengan
orang tua dan kawan sebaya. Keterikatan yang mencegahnya mencurahkan waktu dan
energi yang cukup bagi aspirasi pendidikan dan pekerjaan. Menurut riset
stratifikasi, anak lelaki yang terbebas dari keterikatan ini lebih memungkinkan
untuk berpindah-pindah ke kelas atas. Kedua tradisi riset demikian menyatakan
bahwa orang-orang yang terikat pada conformity (persesuaian) karena
alasan-alasan instrumental kurang mungkin untuk terikat persesuaian berdasarkan
alasan emosional yang lainnya. Apabila mereka yang tidak terikat
dikompensasikan atas kekurangan keterikatan berdasarkan komitmen untuk
berprestasi dan apabila yang tidak melakukannya berubah menjadi terikat dengan
orang-orang, kita bisa menyimpulkan bahwa baik attachment maupun commitment
tidak akan dihubungkan dengan kejahatan. Pertautan paling jelas antara
unsur/elemen commitment dan involvement nampak dalam komitmen di
bidang pendidikan dan pekerjaan sertaketerlibatan dalam aktivitas-aktivitas
konvensional. Kita dapat berusaha memperlihatkan bagaimana komitmen membatasi
kesempatan seseorang untuk melakukan kejahatan dan dengan demikian dijauhkan
dari anggapan (asumsi) banyak teori kontrol bahwa kesempatan-kesempatan
seperti itu secara sederhana dan acak disebarkan melalui populasi yang
diperlukan.
Hubungan elemen terakhir dari teori
kontrol sosial adalah antara Attachment dan Belief, bahwa
terdapat hubungan yang kurang lebih berbanding lurus antara keterikatan dengan
yang lainnya dan kepercayaan dalam keabsahan moral dari peraturan yang ada.
Teori kontrol mempunyai sejumlah kelemahan maupun kelebihan. Adapun
kelemahannya berorientasi pada :
1.
teori ini berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang
dewasa ;
2.
teori ini menaruh perhatian cukup besar pada sikap, keinginan dan tingkah laku
yang meski menyimpang sering merupakan tingkah laku orang dewasa ;
3.
ikatan sosial (social bond) dalam teori Hirschi seperti values, belief,
norma dan attitudes tidak pernah secara jelas didefinisikan ;
4.
kegagalan dalam menjelaskan peluang kejadian yang menghasilkan lebih tidaknya social
bond.
Sedangkan kekuatan kontrol sosial
terletak pada aspek-aspek :
1.
teori ini dapat diuji secara empiris oleh banyak sarjana seperti Wiatrowski,
Griswold dan Roberts ;
2.
teori kontrol sosial merupakan salah satu teori kontemporer yang memiliki daya
tarik kuat dalam dalam hal mendorong penelitian-penelitian yang berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar