KEDUDUKAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA DAN DASAR- DASAR
PERADILAN KONSTITUSI
Oleh Tim
Pengajar Mata Kuliah Peradilan Konstitusi Fak Hukum UNTAN
(Turiman Fachturahman Nur, dan Suhardi)
Pendahuluan
Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca
Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung
menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ
tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah,
(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v)
Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah
Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut,
terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam
UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik
Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula
lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan
dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak
disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga
bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi
Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan
lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara
kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally
entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan
perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam
kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau
bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya
adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan
sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian
di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat
dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary)
yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive)
dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini
sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik
Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan
berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi
sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya
bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan
peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha
negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
Meskipun
tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan
yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun
subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan
orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut
persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut
kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap
norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang
atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang
bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan
perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada
pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah
Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah
Konstitusi adalah ‘court of law’[1].
Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang
kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai
organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah
Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk
mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah
Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran
instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum,
ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan
kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul
Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara
administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Dalam
hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, dapat digambarkan sebagai
berikut.
Tiga Lembaga
Pengisi Jabatan
Sembilan
orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3
(tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3
(tiga) orang oleh Mahkamah Agung[2].
Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan
tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya,
hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan
pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang
berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika
pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian
jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses
pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim
konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara
yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Hubungan
dengan Mahkamah Agung
Selain
hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan
Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang.
Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah
Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang
yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas
perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah
Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara
pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan
pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai
kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu
menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[3],
Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara
di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan
antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan
semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat
untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam
perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini
diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung
ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan
Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena
itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak
final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi
pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk
memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil
jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak
yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di
Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung
terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain
menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan
kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah
Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang
berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua
dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung.
Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu
masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan
menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan
dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung
harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun
demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung
seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah
Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan
konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin
suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut
dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai
salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai
penguji peraturan di bawah undang-undang.
Hubungan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan
Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam
memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus
memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik
lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk
Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga
merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim
konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang
terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden
untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan
Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara
sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa
dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut
Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden,
dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang
diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping
itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam
hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah
Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR
sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai
pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi
bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan
umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir
pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar
hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam
hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Hubungan
dengan Presiden/Pemerintah
Selain
bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu,
semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan
Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan
pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai
struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap
harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada
Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka
yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi
Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap
merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga
kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan
Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga
bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan
Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran
sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional
adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama
dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang
menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang
mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga
dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah
dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya
tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai
tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu,
meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU
tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5)
UUD 1945 pasca Perubahan[4].
Sebagai
ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh
mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak
pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga
merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu,
Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan
mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada
atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap
pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari
pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut
penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan
keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal
perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah
pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum,
pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati,
dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak
boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam
penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah
ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut
tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan
sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi
keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak
boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas
konstitusional di bidang peradilan.
Susunan
Organisasi
Organisasi
Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu (i)
para hakim, (ii) sekretariat jenderal, dan (iii) kepaniteraan. Organisasi
Pertama adalah para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan)
orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai
konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa
pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya
untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari
dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing
untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas
kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda,
yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3
orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang
tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden.
Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar
kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada
salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya,
Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan
imparsial.
Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang
sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9
pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu
bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat
luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran
tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah
mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran
konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan
kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus
dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah
hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula,
dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim,
tidak seperti di Mahkamah Agung.
Organisasi
Kedua adalah
sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun
2003[5]
dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh
sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan:
“Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif, sedangkan Organisasi
Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”.
Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar
administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak
tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab
sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan
masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama
mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti
memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus
untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan
dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang
finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)
mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN[6].
Mengapa
Mahkamah Konstitusi Perlu Dibentuk?
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu
dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945[7].
Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita
telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu
antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’
sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai
akibat perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai
kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan
dalam UUD, (b) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat
mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan
diri pada prinsip ‘the rule of majority’.[8]
Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang
dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga
diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul
yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti
sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.
Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para
warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD.
Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan
pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab
itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally
entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional
obligation). Keempat kewenangan itu[9]
adalah: (1) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa
kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan
sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik.
Sedangkan kewajibannya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang
dimaksud dalam UUD 1945[10].
Sengketa
Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara
Pada
umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini,
orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut
pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif.
Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh
Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja
yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak dapat
keluar dari paradigma lama ketika UUD 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian
‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan
negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang
biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi
negara.
Oleh karena
itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk menggunakan
pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang dipersoalkan bukan
subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan, yaitu
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai
kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan
kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang
disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh
lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka
Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi
memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara
yang bersengketa.
Dengan cara
pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang
disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan kepadanya
oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi
kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan hanya
dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak
diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan
Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga
penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya
dan juga rincian kewenangannya diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD.
Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan
namanya, melainkan hanya menyatakan: “Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensiya, diatur
dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penentuan
nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD.
Akan tetapi,
sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sama-sama disebut namanya dan pembagian kewenangannya dalam Pasal 30 UUD 1945.
Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya,
siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi
yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud UUD
menentukan pengaturan tentang pembagian kewenangan di antara keduanya. Meskipun
TNI dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam
pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara,
melainkan adalah “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan
dalam dan diberikan oleh UUD.
Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum
Berdasarkan
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden
dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta
Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden,
(ii) partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii)
perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara
pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta
pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan
melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi
persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan
perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara
dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa
selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang
diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang
berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan
dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang
permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau
dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.
Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD,
maupun untuk pasangan capres/cawapres.
Pembubaran
Partai Politik
Kebebeasan
Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin
dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang,
sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan
partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai
politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan
konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip
kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu
partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang
diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai
politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang
berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan
pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para
penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain
yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula
dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan
umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka
persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Penuntutan
Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden.
Perkara
penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi
UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Pesiden[11].
Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan
kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah
Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika
terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut
adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan
langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil
Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh
menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran
hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah
Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang
mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui
keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan
pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada
di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja
kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu
sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik
yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK,
kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan
mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR
sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan
dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon,
yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
Pengujian
Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA
Kewenangan
terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah
satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan
arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya
dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat
dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah
pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan
dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara
materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,
sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan
bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1
bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan
pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut
menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat
dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung
Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803[12].
Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan
dimana-mana[13].
Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam
Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah
Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk
“… membanding undang-undang…”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu[14].
Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma
yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD
Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias
politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat
diadopsikan ke dalam UUD 1945[15].
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan
4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah
secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi
parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku
kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang
mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas[16],
maka sekarang – setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya
sebagai pelaku kedaulatan rakyat[17].
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di
samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif,
kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai
pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung
dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan
Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif
dari tangan Presiden ke tangan DPR[18],
maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip
pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and
balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang
dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti
tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi
pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Bahkan,
seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut
sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi, fungsi
pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu
dilembagakan ke dalam fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri
di luar organ Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua
negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu
kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung[19].
Tentu ada juga model-model kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang berbeda dari
satu negara ke negara lain[20].
Ada negara yang mengikuti model Venezuella dimana Mahkamah Konstitusinya berada
dalam lingkungan Mahkamah Agung, ada pula negara yang tidak membentuk lembaga
yang tersendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini
sebagai salah satu tambahan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika
Serikat dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan seperti ini[21].
Akan tetapi, sampai sekarang, di seluruh dunia terdapat 78 negara yang
melembagakan bentuk organ konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri di luar
Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat mempelopori pembentukan lembaga
baru ini adalah Austria pada tahun 1920[22],
dan terakhir adalah Thailand pada tahun 1998 untuk selanjutnya Indonesia
menjadi negara ke-78 yang membentuk lembaga baru ini berdiri sendiri di luar
Mahkamah Agung[23].
Namun di antara ke-78 negara itu, tidak semua menyebutnya Mahkamah Konstitusi[24].
Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan Konstitusi (Counseil
Constitutionnel)[25]
atau Belgia yang menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional
Arbitrage)[26].
Orang Perancis cenderung menyebutnya demikian, karena lembaga ini tidak
dianggap sebagai pengadilan dalam arti yang lazim. Karena itu, para anggotanya
juga tidak disebut hakim. Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas di ke-78
negara itu[27],
Mahkamah Konstitusi itu dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.
Mengapa keduanya dinilai perlu dipisahkan? Karena pada
hakikatnya, keduanya memang berbeda. MA lebih merupakan pengadilan keadilan (court
of justice), sedangkan MK lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court
of law). Memang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai ‘court
of justice’ versus ‘court of law’ yang usulan yang saya sendiri
sering lontarkan sebelumnya. Semula, formula yang saya usulkan adalah seluruh
kegiatan ‘judicial review’ diserahkan kepada MK, sehingga MA dapat
berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa
adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan
kewenangan pengujian terhadap peraturan di bawah UU kepada MA. Di pihak lain,
MK juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan
tanggungjawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR
telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, MA tetap
diberi kewenangan sebagai ‘court of law’ di samping fungsinya sebagai ‘court
of justice’. Sedangkan MK tetap diberi tugas yang berkenaan dengan
fungsinya sebagai ‘court of justice’ di samping fungsi utamanya sebagai ‘court
of law’. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan secara seratus
persen antara ‘court of law’ dan ‘court of justice’, tetapi pada
hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. MA
lebih merupakan ‘court of justice’ daripada ‘court of law’.
Sedangkan MK lebih merupakan ‘court of law’ daripada ‘court of
justice’. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945[28].
Demikianlah beberapa catatan ringkas berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi itu
dalam sistem ketatanegaraan dan dalam sistem kekuasaan kehakiman Republik
Indonesia yang baru berdasarkan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat.
Patut
diketahui bahwa di dunia modern, fungsi konstitusi negara-negara demokrasi pada
hakikatnya adalah untuk menjamin bahwa para pemegang tampuk kekuasaan tidak
menyalahgunakan kekuasaan mereka. Konstitusi merupakan sebuah peraturan hukum
yang mendasar, yang mengatur tugas-tugas dan organisasi kekuasaan negara serta
mengatur hubungan hukum negara terhadap masingmasing warga negara.
Negara-negara hukum yang berlandaskan konstitusi juga tidak selalu terlepas
dari ketegangan yang terdapat antara konstitusi tertulis yang relatif statis
dengan kenyataan politik, ekonomi, dan sosial yang dinamis dan kerap kali
berubah-ubah. Ketegangan ini hanya dapat dijaga seminim mungkin atau dikurangi,
jika aturan-aturan konstitusi tertulis memiliki cakupan yang relatif luas,
fleksibel dan terbuka terhadap penyesuaian pada kenyataan politik yang selalu
berubah-ubah. Satu kemungkinan terbuka untuk mencapai hal itu yaitu dengan
adanya perubahan konstitusi secara informal, yang antara lain mencakup
interpretasi konstitusi melalui mahkamah konstitusi. Agar maksud tersebut dapat
tercapai, maka pada umumnya diperlukan prosedur resmi di hadapan Mahkamah
Konstitusi, yang mana prosedur tersebut memberikan landasan bagi kemungkinan
penafsiran konstitusi dari sudut pandang baru, oleh karena itu peradilan
K\konstitusi memiliki asas-asas tersendiri yang kha.
Asas-asas
yang berlaku dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mencakup antara lain :
1. Asas
persidanga terbuka dan untuk umum kecuali Rapat permusyawaratan Hukum (Psl 40
ayat 1 UU No. 24 Thn 2003)
2. Asas ius
Curia Novit,Bahwa Hakum MK tidak n\boleh menolak untuk mengadili suatu Perkara
dengan alas an tidak ada hukumnya/tidak jelas,(Psl 16 UU No.4 Thn 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman)
3. Asas
Imparsial dan Independen,MK merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan,mencakup
- Imparsialitas Fungsional
- Imparsial structural
- Imparsial Institusional
- Imparsial Individual,(Psl 2 UU No. 24 Thn 2003)
4. Asas
Peradilan sederhana,cepat, dan biaya ringan.
5. Asas
Hakim aktif dan Pasif
6. Asas hakim
untuk mendengar secara seimbang,bahwa setiap individu berhak didengar
pendapatnya di pengadilan oleh hakim.
Mahkamah
Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan
tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim
dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi. Asas tersebut meliputi:
1. Persidangan terbuka untuk umum
Pasal 19
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa
pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini
juga berlaku bagi persidangan pengujian undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1)
UU MK menyatakan bahwa persdiangan terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim. Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan
secara langsung oleh rakyat. Rakyat dapat menilai kinerja para hakim dalam
memutus sengketa konstitusional.
2. Independen dan imparsial
MK merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri
dan merdeka berkaitan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap independen
dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan
yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya
pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain. Selain itu hakim MK juga menjunjung
tinggi konstitusi sebagai bagian dalam sengketa pengujian undang-undang.
Apabila hakim tidak dapat menempatkan dirinya secara imbang merupakan penodaan
terhadap konstitusi.
3. Peradilan cepat, sederhana, dan murah
Pasal 4 ayat
(2) UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus dilaksanakan
secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam prakteknya MK membuat
terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas
video conferrence. Hal ini merupakan bagian dari upaya MK mewujudkan
persidangan yang efisien.
4. Putusan bersifat erga omnes
Berbeda
dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat
para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian
undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat
peradilam di MK adalah erga omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan
demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak
yang bersengketa.
5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et
alteram partem)
Dalam
berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang
ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan. Setiap pihak
mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan pembuktian guna menguatkan
dalil masing-masing.
6. Hakim aktif dan pasif dalam persidanga
Karakteristik
peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang
kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan
melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional control harus
digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dan dalam hal demikian hakim
bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan
pengujian tanpa permohonan.
7. Ius curia novit
Pasal 16 UU
Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar
hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan
secara luas sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum (rechts
vinding) untuk menemukan keadilan
Dasar-Dasar
Peradilan Konstitusi
1. Dasar Hukum.
2. Tahapan-Tahapan Hukum Acara Peradilan Konstitusi :
3. Pemohon Pengujian.
4. Permohonan Perkara.
5. Penelitian Administratif.
6. Pemeriksaan Pendahuluan.
7. Pemeriksaan Oleh Panel.
8. Pemeriksaan Oleh Pleno.
9. Penghentian Pemeriksaan Dan Penundaan Putusan.
10. Kesaksian Pembentuk Undang-Undang.
11. Kesaksian Pemerintah Sebagai Co - Legislator.
12. Kesaksian DPD Sebagai Co - Legislator.
13. Kesaksian Kuasa Hukum.
14. Tujuan Pembuktian.
15. Apa Yang Harus Dibuktikan.
16. Ragam Alat Bukti.
17. Bukti Dokumen.
18. Keterangan Saksi.
19. Keterangan Ahli.
20. Keterangan Pihak-Pihak. Bukti Petunjuk.
21. Bukti Elektronik.
22. Penerjemah.
23. Keputusan.
24. Ketetapan
25. Putusan.
Daftar Pustaka
DASAR HUKUM
1. Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Undang-Undang
Nomor : 24 Tahun 2003.
3. KUHAP.
4. HIR.
5. Peraturan MK
Nomor : 06/PMK/2005
A. Pemohon
pengujian
Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/ataukewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu ;
a) Perorangan
warga negara indonesia.
b) Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.
c) Badan hukum
publik atau privat.
d) Lembaga
negara. ( Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Jo. Pasal 3 Per MK
No. 06/PMK/2005
)
B. Permohonan
perkara
Permohonan
perkara konstitusi harus diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia
oleh pemohon atau kuasa pemohon kepada mahkamah konstitusi.
Permohonan
tersebut harus ditanda tangani oleh pemohon atau kuasanya itu dalam 12 (dua
belas) rangkap dimaksudkan dibagikan kepada 9 (sembilan) orang hakim konstitusi
dan pihak-pihak terkait lainnya sesuai dengan jenis perkara yang diajukan dalam
permohonan. ( Pasal 29 UU No. 24 Tahun 2003 ).
C. Penelitian
administratif
Setiap
permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan, harus lebih dahulu
diperiksa dengan telitioleh petugas kepaniteraan untuk menentukan apakah
berkas tersebut sudah lengkap atau belum.(Pasal 29 UU No. 24 Tahun 2003 ).
berkas tersebut sudah lengkap atau belum.(Pasal 29 UU No. 24 Tahun 2003 ).
Pengertian lengkap adalah bahwa
berkas permohonan itu terbukti (i) ditulis dalam bahasa indonesia; (ii)
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya; (iii) berkas nama dan alamat
pemohon; dan (v) disertai dengan alat- alat bukti yang mendukung ( Pasal 31 ayat
(1) huruf a dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 ).
D. Pemeriksaan
pendahuluan
Sebelum mulai
memeriksa pokok perkara, mahkamah konstitusi mengadakan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), mahkamah konstitusi wajib member nasihat kepada pemohon untuk
melengkapi (empat belas) hari. ( Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003
)
E. Pemeriksaan
oleh panel mahkamah konstitusi, dimana pemeriksaan persidangan dilakukan oleh panel
hakim yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim konstitusi.( Pasal
28 Ayat (4) UU No. 24 Tahun 2003)
F. Pemeriksaan
oleh pleno
Mahkamah
konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno
mahkamah konstitusi dengan sembilan hakim konstitusi, kecuali dalam
( Pasal 28 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 )
( Pasal 28 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 )
G. Penghentian
pemeriksaan dan penundaan putusan
Adalah
penghentian suatu proses pengujian undang-undang, undang-undang mana dalam
proses pembuatannya telah diputuskan oleh pengadilan secara sah telah terjadi
tindak pidana korupsi oleh para pihak yang terlibat dalam pembuatan
undang-undang tersebut.
H. Kesaksian
pembentuk undang-undang
Didalam
pemeriksaan pengujian suatu undang-undang hakim konstitusi dapat memanggil
lembaga pembentuk undang-undang (legislative) untuk dapat diminta
keterangannya, yang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
I. Kesaksian
pemerintah sebagai co - legislator
Didalam
pemeriksaan pengujian suatu undang-undanghakim konstitusi dapat memanggil co ±
lembaga pembentuk undang-undang untuk dapat diminta keterangannya, yang dalam
hal ini adalah pemerintah
J. Kesaksian DPD
sebagai co - legislator
Didalam
pemeriksaan pengujian suatu undang-undang hakim konstitusi dapat memanggil
co ± lembaga pembentuk undang-undang untuk dapat diminta keterangannya, yang
dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
K. Kesaksian
kuasa hukum
Bahwa dalam
pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk
itu.Artinya baik pemohon maupun termohon dapat diwakiliatau didampingi oleh
kuasa hukum yang ditunjuk dengansurat kuasa khusus untuk itu.( Pasal 43 UU No.
24 Tahun 2003
L. Tujuan
pembuktian
Adalah
pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang
didasarka kepada alat-alatbukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara. Dimana
metode pembuktian yang dikembangkan oleh hakim,haruslah benar-benar dapat
dipertanggung-jawabkan,sehingga dapat sungguh-sungguh menghasilkan keadilan.
M. Apa yang
harus dibuktikan
Terdapat empat
persoalan ;
a) Keberwenangan
mahkamah konstitusi.
b) Kedudukan
hukum (legal standing) pemohon.
c)
Konstitutionalitas materi undang-undang; dan/atau;
d)
Konstitutionalitas pembentukan undang-undang dan/atau hal-
hal selain soal
materi undang-undang yang bersangkutan.
N. Ragam alat
bukti
Terdapat 6
(enam) alat bukti ;
a) Surat atau
tulisan.
b) Keterangan
saksi.
c) Keterangan
ahli.
d) Keterangan
para pihak.
e) Petunjuk
dan,
f) Alat bukti
lain yang berupa informasi yang diucapkan,dikirimkan, diterima, atau
( Pasal 36 Ayat
(1) UU No. 24 Tahun 2003 )
O. Bukti dokumen
Yaitu dokumen
resmi yaitu suatu dokumen perundang-undangan ;
a) Lembaga
negara dan tambahan berita negara.
b) Berita
negara dan tambahan berita daerah.
c) Lembaran
daerah dan berita daerah.
d) Risalah-risalah
dan arsip-arsip.
e) Surat akta
otentik.
f) Surat resmi
lainnya yang dibuat oleh pejabat umum.
g) Surat resmi
lainnya yang dibuat dan dibubuhi tanda tangan pejabat atau petugas yang
bersangkutan.
h)
Dokumen-dokumen tertulis yang bersifat resmi lainny
P. Keterangan
saksi
Saksi adalah
seseorang yang memberikan pernyataan atau menandatangani kesaksian
dalam suatu dokumen sebagai alat bukti dikemudian hari atau seseorang yang
memberikan keterangan berdasarkan kesaksian lainnya sendiri mengenai sesuatu
fakta yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri, dirasakannya sendiri, atau
dialaminya sendiri
Q. Keterangan
ahli
Adalah
keterangan seseorang dibawah sumpah mengenai sesuatu hal menurut
pengetahuan dan pendapat berdasarkan bidang keahlianny
R. Keterangan
pihak-pihak
Adalah
keterangan yang diberikan oleh para pihak yang terlibat ;
a) Pemohon.
b) Pemerintah.
c) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).d) Dewan Perwakilan Daerah (fakultatif).
e) Lembaga Negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang-undang yangbersangkutan.
e) Lembaga Negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang-undang yangbersangkutan.
f) Pihak-pihak
lain diluar organ Negara yang mempunyaikepentingan yang terkait langsung maupun
tidak langsung dengan undang-undang yang bersangkutan.
S. Bukti
petunjuk
Adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.( Pasal
188 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)
T. Bukti
elektronik
Adalah alat
bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu. (
Pasal 36 Ayat (1) Huruf f UU No. 24 Tahun 2003
U. Penerjemah
Adalah
seseorang yang ditunjuk oleh hakim dibawah sumpah untuk membantu menjelaskan
kepada parapihak yang berperkara yang dalam pemberian keterangannya tidak
mengerti dan/atau tidak dapatberbahasa indonesia.
V. Keputusan
Adalah suatu
peraturan yang dikeluarkan oleh/ataudibidang administrasi umum
W. Ketetapan
Adalah suatu
peraturan yang dikeluarkan oleh/atau dibidang administrasi justicial
X. Putusan
Adalah suatu
vonis atas suatu proses hukum yang dikeluarkan oleh hakim dan/atau
pengadilan
DAFTAR PUSTAKA
Jimly
Asshiddiqy. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakart
Konpress.Abdul
Latif. Muhammad Syarif Nuh. Hamzah Baharudin. Hasbi Ali. Said Sampara. 2009.
Bahan Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Total Media.
Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-Undang
Nomor : 24 Tahun 2003.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005.
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
Herzining
Indische Reglemen (HIR)
[1] Kedua istilah ini seringkali dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara
keadilan formal dengan keadilan substantive, seperti dalam istilah “court of
law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of
justice”. Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan
pembedaan antara hakikat pengertian peradilan oleh Mahkamah Agung dan oleh
Mahkamah Konstitusi.
[2] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316). Meskipun dalam Penjelasan
pasal ini dinyatakan “cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi
kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi dari tiga lembaga ini
dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, para
hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara, sehingga mengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan
hukum bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu lembaga negara yang
bersengketa. Di samping itu, dejarat independensi hakim konstitusi juga
diharapkan dapat lebih terjamin karena yang menentukan pengangkatannya sebagai
hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabila pengangkatan mereka hanya
ditentukan oleh Presiden.
[3] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung
tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.
[4] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan”.
[6] Ibid., Pasal 9 UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Anggaran Mahkamah Konstitusi
dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara”.
[7] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, juga Jimly Asshiddiqie,
Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Jakarta: PSHTN-FHUI, 2002.
[8] Dalam pengertian inilah muncul doktrin ‘demokrasi berdasar atas hukum’
atau ‘constitutional democracy’ yang berimbangan dengan doktrin negara
hukum yang demokratis atau ‘democratische rechtsstaat’. Lihat juga
Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996.
Baca juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective,
Oxford: Clarendon Press, 1989.
[9] Keempat kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, di bawah
judul Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,; sedangkan ketentuan mengenai
kewajiban memutus pendapat DPR dalam rangka tuntutan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7B ayat (4), yang merupakan bagian
dari Bab III di bawah judul Kekuasaan Pemerintahan Negara.
[12] Untuk uraian lengkap mengenai kasus ini lihat Geoffrey R.Stone, et.al.,
Constitutional Law, 2nd edition, Boston-Toronto-London: Little,
Brown and Co., 1991, hal. 21-44. Lihat juga Robert H. Borck, The Tempting of
America: The Political Seduction of the Law, London: The Free Press, Macmillan,
1990, hal. 20-28.
[13] Baca juga perdebatan tentang pandangan John Marshall itu dalam John Hart
Ely, Democracy and Distrust, Harvard University Press, 1980, hal. 186, ft. 11.
[14] Republik Indonesia, Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta,
1995, hal.295. Muhammad Yamin mengusulkan agar “Mahkamah Agung melakukan
kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang supaya sesuai dengan hukum
adat, hukum Islam (Syari’ah) dan dengan Undang-Undang Dasar dan melakukan
aturan pembatalan undang-undang, pendapat Balai Agung disampaikan kepada
Presiden yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam
perdebatan, ketiga norma pengukur itu ditegaskan lagi oleh Muhammad Yamin,
yaitu: “Undang-Undang Dasar, atau hukum adat, atau syari’ah”.
[16] Sifat MPR yang “tak terbatas” ini, seperti yang tercermin dalam Penjelasan
UUD 1945 sebelum Perubahan Keempat, dapat dibandingkan dengan sifat kekuasaan
pemerintahan negara yang dikatakan “tidak tak terbatas”. Kedudukan MPR itu
sebelum diadakan perubahan adalah dalam kedudukan sebagai tempat Presiden
bertunduk dan bertanggungjawab.
[17] Pasal 1 ayat (2) asli UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan
ini, berdasarkan Perubahan Ketiga Tahun 2001 diubah menjadi: “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
[18] Bandingkan rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) asli juncto Pasal 20 ayat
(1) asli UUD 1945 dengan rumusan ketentuan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20
ayat (1) yang baru hasil Perubahan Pertama Tahun 1999.
[19] Bandingkan Konstitusi USSR dengan Konstitusi Rusia, Georgia, Lithuania,
Azerbaiyan; Begitu juga negara-negara seperti Hungaria, Ceko, Slovakia,
Slovenia, dan lain sebagainya.
[20] Dalam buku Mahkamah Konstitusi: Kompilasi ketentuan UUD, UU dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, saya gambarkan adanya 6 kelompok model, yaitu
model Austria/Jerman, model Perancis, model Belgia, model Amerika Serikat,
model Venezuella, dan model negara yang menganut prinsip supremasi parlemen.
Model yang terakhir ini tidak selalu terkait dengan ideologi komunisme yang
menganut paham supremasi parlemen secara struktural. Selain negara komunis, ada
pula negara yang menganut paham supremasi parlemen secara simbolik seperti
Inggeris dan Belanda dengan doktrin ‘Queen in Parliament’ ataupun ‘King
in Parliament’ yang menyebabkan timbulnya pengertian bahwa undang-undang
sebagai produk parlemen yang ‘supreme’ itu tidak dapat diganggu-gugat oleh
hakim. Karena itu, peninjauan terhadap undang-undang hanya boleh dilakukan
melalui prosedur ‘legislative review’, dan bukan melalui ‘judicial
review’. Tentang sistem hukum Belanda lihat Jeroen Chorus et.al.
Introduction to Dutch Law, 3rd revised edition, the
Hague-London-Boston: Kluwer Law International, 1999. Tentang doktrin ini dalam
sistem hukum Inggeris baca Catherine Elliott and Frances Quinn, English Legal
System, 4th edition, London: Longman, 2002.
[21] Lihat The Influence of the US Constitution on Pacific Nations, Foundation
for the 21st Century, Kapalua Pacific Center, and the Asia
Foundation, September 25-26, 1987.
[22] Konstitusi Austria ini merupakan konstitusi pertama yang mengadopsikan
iden pembentukan Mahkamah Konstitusi ini dalam bentuknya seperti yang dikenal
sekarang. Yang dapat disebut berjasa meletakkan dasar-dasar pembentukan MK ini
di Austria adalah Professor Hans Kelsen. Lihat Herbert Hausmaninger, The
Austrian Legal System, Vienna: Manzsche Verlags, 2003.
[23] Republik Indonesia dapat dicatat sebagai negara pertama yang membentuk
Mahkamah Konstitusi ini pada abad ke-21. Ke-77 negara sebelum mendirikan
Mahkamah Konstitusi ataupun Dewan Konstitusi pada abad ke-20.
[24] Lihat Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan
UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, Jakarta, 2002.
[25] John Bell, French Constitutional System, Oxford: The Clarendon Press,
1992, hal. 270; dan Mauro Cappelletti, Op.Cit., hal. 156-157.
[27] Ke-78 negara ini adalah: Afrika Selatan, Afrika Tengah, Albania, Aljazair,
Andorra, Angola, Armenia, Austria, Azerbaiyan, Bahrain, Belgia, Belarusia,
Belgia, Benin, Bolivia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Burundi, Cambodia, Chile,
Colombia, Comoros, Congo, Cote d’Ivorie, Croatia, Cyprus, Czechs (Ceko),
Djibouti, Ecuador, Gabon, Georgia, Guatemala, Hongaria, Indonesia, Italia,
Jerman, Kazakhstan, Korea Selatan, Kuwait, Kyrgyztan, Latvia, Lebanon,
Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Madagascar, Mali, Malta, Maroko, Mauritania,
Mesir, Moldova, Mongolia, Mozambique, Nepal, Perancis, Peru, Polandia,
Portugal, Romania, Russia, Rwanda, Senegal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sri Lanka,
Sudan, Suriname, Syria, Tajikistan, Thailand, Togo, Tunisia, Turki, Ukraina,
Uzbekistan, Venezuella, danYugoslavia. Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa
Fakhry, Op.Cit.
[28] Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ini menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar